Kemajuan terkini dalam kecerdasan buatan (AI) memungkinkan teknologi ini untuk merespons rangsangan sensorik seperti sentuhan, penglihatan, penciuman, dan suara. Sementara itu, perilaku manusia yang kompleks melibatkan interaksi yang kompleks antara kebutuhan fisiologis dan dorongan psikologis. Meskipun AI telah mengalami perkembangan signifikan, sistem ini belum dapat mengintegrasikan aspek psikologis ke dalam programnya.
Oleh karena itu, para peneliti di Pennsylvania State University, yang ahli dalam teknik mekanika, tengah melakukan penelitian untuk membawa dimensi emosional ke dalam kecerdasan buatan. “Fokus utama dari penelitian kami adalah bagaimana kita dapat menggabungkan aspek emosional ke dalam AI,” ungkap Saptarshi Das, seorang profesor ilmu teknik dan mekanik di Penn State.
Dalam penelitian yang diungkapkan melalui jurnal Nature Communication pada tanggal 27 September 2023, Saptarshi Das bersama timnya mencatat bahwa kebiasaan makan manusia adalah contoh konkret dari kecerdasan emosional dan interaksi antara keadaan fisiologis dan psikologis tubuh.
Proses pengecapan, yang melibatkan indera perasa, membantu kita dalam menentukan pilihan makanan berdasarkan preferensi rasa. Ini berbeda dengan rasa lapar, yang merupakan dorongan fisiologis bagi manusia untuk makan.
Reseptor rasa di lidah manusia merubah informasi kimia menjadi impuls listrik yang dikirim oleh neuron ke korteks pengecapan di otak. Di dalam sirkuit kortikal tersebut, jaringan neuron yang kompleks membentuk persepsi kita terhadap rasa.
Reseptor Kombinasi dari Kimiatransistor
Sensor molekuler yang inovatif, yang disebut kimiatransistor, telah dihasilkan melalui penelitian di Pennsylvania University. Dalam pengutipan dari situs Penn University, para peneliti berhasil menciptakan versi biomimetik sederhana dari reseptor manusia dengan merancang “lidah” elektronik dan “korteks pengecapan” elektronik menggunakan bahan 2D dengan ketebalan hanya satu hingga beberapa atom.
Sensor ultra-tipis ini merupakan kombinasi dari graphene, yang berfungsi sebagai sensor kimia canggih, dan molibdenum disulfida, yang berperan sebagai semikonduktor untuk sirkuit dan logika. Kimiatransistor ini mampu mendeteksi molekul gas atau zat kimia, dan memanfaatkan molibdenum disulfida untuk mensimulasikan perilaku neuron. Dua komponen ini bekerja bersinergi untuk meniru kemampuan “mencicipi” input molekuler, menghasilkan sirkuit yang meniru sistem pengecapan.
Andrew Pannone, salah seorang peneliti, menjelaskan, “Kami memilih dua bahan terpisah karena graphene sangat baik sebagai sensor kimia, namun kurang cocok untuk sirkuit dan logika yang diperlukan untuk meniru sirkuit otak. Oleh karena itu, kami memanfaatkan kekuatan masing-masing bahan dengan menggabungkannya, menciptakan sirkuit yang mampu meniru sistem pengecapan.”
Bermanfaat dalam Emotional Quotient
Melalui penelitian di Pennsylvania University, tim peneliti berhasil menghasilkan sebuah sensor molekuler inovatif yang dikenal sebagai kimiatransistor. Menurut informasi dari situs Penn University, para peneliti berhasil menciptakan versi biomimetik yang sederhana dari reseptor manusia dengan merancang lidah elektronik dan “korteks pengecapan” elektronik menggunakan bahan 2D dengan ketebalan hanya satu hingga beberapa atom.
Sensor ultra-tipis ini merupakan gabungan antara graphene, yang berfungsi sebagai sensor kimia canggih, dan molibdenum disulfida, yang berperan sebagai semikonduktor untuk sirkuit dan logika. Kimiatransistor ini memiliki kemampuan untuk mendeteksi molekul gas atau zat kimia, dan menggunakan molibdenum disulfida untuk mensimulasikan perilaku neuron. Kedua komponen ini bekerja secara sinergis untuk meniru kemampuan “mencicipi” input molekuler, menghasilkan sirkuit yang meniru sistem pengecapan.
Andrew Pannone, salah seorang peneliti, menjelaskan, “Kami memilih dua bahan terpisah karena graphene sangat efektif sebagai sensor kimia, namun kurang sesuai untuk sirkuit dan logika yang diperlukan dalam meniru sirkuit otak. Oleh karena itu, kami menggabungkan kekuatan masing-masing bahan, menciptakan sirkuit yang mampu mensimulasikan sistem pengecapan.”